BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang permasalahan
Dalam tradisi sufi seorang manusia tidak hanya memerhatikan
hal yang bersifat lahir,tetapi juga sesuatu yang bersifat batin yang kesemuanya
itu tidak terlepas dari masalah hawa nafsu dan penyakit jiwa. Dalam pemikiran
pokok tentang etika yang akan dibahas selanjutnya tidak terlepas dari masalah
yang ada dalam tradisi sufi itu sendiri. Oleh karena itu kami mencoba membahas
konsep etika dalam tradisi sufi dengan mengangkat salah satu tokoh sufistik
yang terkenal di masanya yang saat itu dikenal dengan imam Al Ghazali sebagai
kontribusi kecil kami dalam menambah khazanah keilmuan. Selain itu, ini juga
sebagai bentuk tanggung jawab kami dalam memenuhi tugas terstruktur pada mata
kuliah yang kami tempuh.
B. Rumusan
Masalah
Masalah yang kami angkat dalam
makalah ini sebagai berikut:
- Bagaimana Riwayat Hidup Al Ghazali ?
- Bagaimanakah etika sufistik imam al Ghazali ?
- Bagaimana konsepsi manusia dalam tasawuf al-Ghazali ?
C. Tujuan
Pembahasan Masalah
Adapun tujuan dari pembahasan
masalah di atas adalah sebagai berikut:
- Mengetahui Riwayat Hidup Al Ghazali.
- Mengetahui etika sufistik Al Ghazali.
- Mengetahui konsepsi manusia dalam tasawuf al Ghazali.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat
Hidup Al Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Ahmad Al Ghazali,
lebih dikenal dengan Al Ghazali. Dia lahir di kota kecil yang terletak di dekat
Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Irak pada tahun 450 H (1058 M).[1.1]
Nama Al Ghazali ini berasal dari ghazzal, yang berarti tukang pintal benang,
karena pekerjaan ayahnya adalah memintal benang wol. Sedangkan Ghazali juga
diambil dari kata ghazalah, yaitu nama kampung kelahiran Al Ghazali dan inilah
yang banyak dipakai, sehingga namanya pun dinisbatkan oleh orang-orang kepada
pekerjaan ayahnya atau kepada tempat lahirnya.[1.2]
Orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf, karena orang
tuanya hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri dari menenun wol. Ia
juga terkenal pecinta ilmu dan selalu berdo’a agar anaknya kelak menjadi
seorang ulama. Amat disayangkan ajalnya tidak memberikan kesempatan padanya
untuk menyaksikan keberhasilan anaknya sesuai do’anya.
Awal mula Al Ghazali mengenal tashawuf adalah ketika sebelum
ayahnya meninggal, namun dalam hal ini ada dua versi:
Ayahnya sempat menitipkan Al Ghazali kepada saudaranya yang
bernama Ahmad. Ia adalah seorang sufi, dengan bertujuan
untuk dididik dan dibimbingnya dengan
baik.
Ayahnya menitipkan Al Ghazali bersama saudaranya Ahmad
kepada seorang sufi, untuk didik dan dibimbing dengan baik.
Sejak kecil, Al Ghazali dikenal sebagai anak yang senang
menuntut ilmu. Karenanya, tidak heran sejak masa kanak-kanak, ia telah belajar
dengan sejumlah guru di kota kelahirannya. Diantara guru-gurunya pada waktu itu
adalah Ahmad Ibn Muhammad Al Radzikani. Kemudian pada masa mudanya ia belajar
di Nisyapur juga di Khurasan, yang pada saat itu merupakan salah satu pusat
ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid Imam Al
Haramaîn Al Juwaini yang merupakan guru besar di Madrasah An Nizhâmiyah
Nisyapur. Al Ghazali belajar teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme
dan ilmu-ilmu alam.[1.3]
Berdasarkan kecerdasan dan kemauannya yang luar biasa, Al
Juwaini kemudian memberinya gelar Bahrûm Mughrîq (laut yang menenggelamkan). Al
Ghazali kemudian meninggalkan Naisabur setelah Imam Al Juwaini meninggal dunia
pada tahun 478 H (1085 M). Kemudian ia berkunjung kepada Nizhâm Al Mâlik di
kota Mu’askar. Ia mendapat penghormatan dan penghargaan yang besar, sehingga ia
tinggal di kota itu selama 6 tahun. Pada tahun 1090 M ia diangkat menjadi guru
di sebuah Nizhâmiyah, Baghdad. Pekerjaan itu dilakukan dengan sangat berhasil.
Selama di Baghdad, selain mengajar, ia juga memberikan bantahan-bantahan
terhadap pikiran-pikiran golongan bathiniyyah, ismâiliyyah, golongan filsafat
dan lain-lain. Setelah mengajar di berbagai tempat, seperti di Baghdad, Syam
dan Naisabur, akhirnya ia kembali ke kota kelahirannya di Thus pada tahun 1105
M.
Empat tahun lamanya Al Ghazali memangku jabatan tersebut,
bergelimang ilmu pengetahuan dan kemewahan duniawi. Di masa inilah dia banyak
menulis buku-buku ilmiah dan filsafat. Tetapi keadaan yang demikian tidak
selamanya mententramkan hatinya. Di dalam hatinya mulai timbul keraguan,
pertanyaan-pertanyaan batinnya mulai muncul, ‘inikah ilmu pengetahuan yang
sebenarnya?’, ‘Inikah kehidupan yang dikasihi Allah?’, ‘Inikah cara hidup yang
diridhai Tuhan?’, dengan mereguk madu dunia sampai ke dasar gelasnya.
Bermacam-macam pertanyaan timbul dari hati sanubarinya. Keraguan terhadap daya
serap indera dan olahan akal benar-benar menyelimuti dirinya. Akhirnya dia
menyingkir dari kursi kebesaran ilmiahnya di Baghdad menuju Mekkah, kemudian ke
Damaskus dan tinggal disana sambil mengisolir diri untuk beribadah.
Ia mulai tentram dengan jalannya di Damaskus, yakni jalan
sufi. Ia tidak lagi mengandalkan akal semata-mata, tetapi juga kekuatan nûr
yang dilimpahkan Tuhan kepada para hamba-Nya yang bersungguh-sumgguh menuntut
kebenaran. Dari Damaskus ia kembali ke Baghdad dan kembali ke kampungnya di
Thus. Di sini ia menghabiskan hari-harinya dengan mengajar dan beribadah sampai
ia dipanggil Tuhan ke hadirat-Nya pada tanggal 14 Jumâdil Akhir tahun 505 H
(1111 M) dalam usia 55 tahun dengan meninggalkan beberapa anak perempuan. Dan
ada juga yang mengatakan bahwa beliau meninggal usia 54 tahun.[1.4]
B. Etika sufistik al- Ghazali
Dalam tradisi sufi seorang manusia
tidak hanya memerhatikan hal yang bersifat lahir,tetapi juga sesuatu yang
bersifat batin yang kesemuanya itu tidak terlepas dari masalah hawa nafsu dan
penyakit jiwa. Dalam pemikiran pokok etika al-Ghazali yang akan dibahas
selanjutnya tidak terlepas dari masalah yang ada dalam tradisi sufi itu sendiri
dimana al-Ghazali menekankan perbuatan yang bersifat batin dan kebebasan
manusia dari segala hawa nafsu yang akan merusak segala bentuk kewajiban
agamanya. Mengenai hubungan pemikiran pokok etika al-Ghazali mempunyai
persamaan yaitu sama-sama membahas masalah nilai baik dan buruk dan
perbedaannnya berhenti pada tataran teori dan lahir saja, akan tetapi
al-Ghazali bergerak sampai pada tataran praktis dan batin.
Al-Ghazali mengalami kehidupan sufi dengan cara unik dan
berbeda dengan bentuk-bentuk tasawuf yang lazim pada masanya. Ia tidak tertarik
terhadap cara yang mempergunakan perantaraan seorang syeikh sebagai panutan
maupun aturan-aturan ketat yang harus dijalani oleh mereka yang ingin menuju
Allah swt. Menurut al-Ghazali, Rasulullah saw adalah satu-satunya manusia yang
paling layak untuk dijadikan panutan, pembimbing, pendidik atau guru. Maka tidak
salah kalau al-Ghazali dalam membangun mazhab etika selalu bersandarkan dengan
syariat agama.[1]
Dalam Ihya Ulum al-Din, al-Ghazali mendefinisikan
etika yang disebutkan dalam literatur Nya dengan akhlak sebagai berikut:
“
Etika atau akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan
perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan.”
Etika
adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia sehingga ia akan secara spontan
bilamana diperlukan tanpa perlu memikirkan pemikiran ataupun pertimbangan lebih
dalam serta tidak memerlukan dorongan dari luar. Selanjutnya di bawah ini akan
dijelaskan mengenai pokok pemikiran etika al-Ghazali yang terdiri dari:
kebahagiaan, baik dan buruk dan kewajiban agama.
1.
Kebahagiaan
Menurut al-Ghazali kebahagiaan itu mempunyai dua segi,
negatif dan positif. Segi negative yang berkenaan dengan kebahagiaan tetapi
pada dasarnya bukan kebahagiaan, sedangkan aspek positifnya yang berhubungan
dengan hakikat kebahagiaan. Al-Ghazali membahas kebahagiaan ini dengan terlebih
dahulu menyerang pandangan umum hedonisme, yang berpendapat bahwa tujuan hidup
manusia adalah untuk menikmati kesenangan dan kenikmatan hidup di dunia ini.
Al-Ghazali memandang kehidupan dunia sebagai perantara bukan sebagai tujuan,
sekaligus sebagai ibadah untuk Allah swt.
Al-Ghazali menyatakan bahwa
menyatakan bahwa mengabaikan kebahagiaan ukhrawi jelas merupakan suatu kebodohan,
karena kelalaianlah yang tidak memerdulikannya. Bahkan dengan dasar mencari
kebahagiaan ukhrawi, al-Ghazali membagi manusia dalam empat golongan:
Golongan
pertama adalah orang-orang yang meyaikini
adanya kematian, hari kiamat, surga dan neraka seperti dijelaskan dalam ajaran
agama yang tersurat dalam al-Quran. Mereka menyadari bahwa surga dapat
membangkitkan kebahagiaan dan kenikmatan yang sulit digambarkan dengan
kata-kata, sebab surga merupakan sesuatu yang sebelumnya belum pernah dilihat,
didengar dan terdetik dalam hati manusia, mereka itulah muslim-muslim sejati.
Golongan
kedua adalah para filsuf muslim yang
mengakui adanya kenikmatan yang bentuknya terbayangkan oleh manusia mereka
menamakannya dengan kenikmatan aqli. Sebaliknya mereka mengingkari adanya
kenikmatan ukhrawi yang dirasakan dalam kondisi terjaga.
Golongan
ketiga adalah mereka yang menafikan
kenikmatan inderawi baik dalam wujud nyata maupun dalam bentuk fantasi. Mereka
berdalih bahwa fantasi hanya dapat dihasilkan oleh perangkat fisik, dan
kematian akan memutuskan hubungan antara jiwa dan badan yang merupakan piranti
untuk berfantasi serta mengindera.[2]
Golongan
keempat adalah kelompok orang-orang bodoh,
bukan ahli pikir. Menurut mereka kematian hanyalah proses kebinasaan belaka,
ketaatan dan kemaksiatan tidak berakibat apapun, dan manusia akan sirna
sebagaimana sebelum mereka diciptakan.
2. Baik dan Buruk
Dalam kitab Mizan al-Amal, al-Ghazali mendefinisikan
bahwa akhlak yang baik adalah suatu usaha untuk menghilangkan seluruh
kebiasaan-kebiasaan buruk yang telah dijelaskan oleh syariat, mengarahkan
akhlak agar membenci dan menghindari sebagaimana menghindari hal-hal najis dan
kotor serta membiasakan dengan kebiasaan yang baik sehingga selalu rindu pada
perbuatan baik tersebut.
Dalam kitab Ihya Ulum al-Din, al-Ghazali pun
memberikan pengertian akhlak atau etika yang berkenaan dengan baik dan buruk.
Menurutnya, jika suatu sifat melahirkan suatu tindakan yang keji menurut
ketentuan akal dan syariat itu dinamakan akhlak yang baik. Namun manakala ia
melahirkan tindakan yang jahat, maka dinamakan akhlak yang buruk. Akan tetapi
menurut al-Ghazali pengertian akhlak atau etika mengenai baik dan buruk bukan
sekadar pengetahuan (ma’rifah), kodrat (qudrah), bukan pula
pengamalan (fi’l), melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap. Secara
garis besar keutamaan jiwa dikelompokkan menjadi empat, yaitu kebijaksanaan (al-Hikmah),
keberanian (al-Syaja’ah), menjaga diri dari sesuatu yang tidak baik (al-‘Iffah),
dan keadilan (al-‘Adl).
Yang dimaksud dengan hikmah adalah keutamaan jiwa yang
digunakan untuk mengendalikan potensi amarah dan hawa nafsu dan mengatur
gerakan keduanya dengan kadar pengekangan dan pelapasan yang tepat dan ia
merupakan barometer penentu baik buruknya amal perbuatan.
Keberanian merupakan keutamaan jiwa, dengannya potensi
amarah dan kesatria akan mendorong hati yang terdidik dan terlatih untuk segera
melakukan maupun menahan tindakan yang diperlukan. Menurut al-Ghazali sifat
berani berada diantara dua sifat buruk, yaitu terburu nasfu atau kurang
perhitungan dan penakut.
Adapun sifat sifat iffah merupakan keutamaan potensi hawa
nafsu yang dengan mudah tunduk kepada potensi hati, ia dikelilingi oleh dua
sifat rendah yaitu rakus dan terlalu tenang. Rakus merupakan sifat syahwat yang
sangat berlebihan dalam memburu kenikmatan-kenikmatan yang dipandang buruk dan
dilarang oleh potensi hati. Sedangkan terlalu tenang merupakan ketenangan syahwat
dari memeroleh serta melakukan sesuatu yang diperintahkan oleh akal.
Adapun keadilan didefinisikan
sebagaikeadaan jiwa dimana amarah dan hawa nafsu dikendalikan dibawah perintah
akal dan syariat. Keadaan dimana akal, nafsu dan amarah dijaga dalam kewajarannya
dan dipenuhi haknya masing-masing. Keadilan dalam jiwa adalah daerah diantara
segala bentuk keadilan manusiawi dan inilah yang relevan dengan akhlak yang
baik.
3. Kewajiban Agama
Karena masalah baik dan buruk tidak hanya masalah lahir
tetapi juga masalah batin, oleh karena itu manusia terkena kewajiban agama yang
bersifat ritual yang di dalamnya tidak hanya berisi makna lahir tetapi juga
makna batin yang kesemuanya itu dilakukan demi mencapai tujuan tertinggi
manusia yaitu kebahagiaan ukhrawi.
Selanjutnya al-Ghazali lewat
karya-karyanya yang memikat, menyentuh dan penuh persepsi mengajak kita untuk
menjelajahi kawasan ruhaniah dari ibadah, yaitu ibadah-ibadah pokok yang
diwajibkan bagi umat Islam. Oleh karena itu, di bawah ini diungkapkan makna-makna
batiniah ibadah pokok umat Islam, seperti: shalat, puasa, zakat dan haji dalam
tataran etika sufi al-Ghazali.
a.
Shalat
Al-Ghazali menyatakan bahwa shalat memiliki kandungan etika
yang lahir. Hal itu dapat dilihat dari dua hal, pertama keadaan batin yang
mendorong penyempurnaan makna shalat, kedua dari syarat lahir pada setiap
tahapan shalat. Yang dimaksud dengan keadaan batin penyempurnaan makna shalat
adalah bahwa di dalam pikiran orang yang shalat harus mempunyai enam sifat,
yaitu: kesadaran, pemahaman, pengagungan, kedahsyatan, harap dan rasa malu.
b. Puasa
Ada
tiga tingkatan puasa yaitu: puasa awam, puasa khusus dan puasa sangat khusus.
Puasa biasa atau awam berarti hanya menahan diri terhadap makan, minum dan yang
membatalkannya. Sedangkan puasa khusus berarti menjaga seluruh anggota badan
dari berbuat dosa.[3]
Adapun puasa sangat khusus yaitu memuasakan hati dengam mencagahnya dari
memikirkan hal-hal yang hina dan duniawi, sehingga hanya memikirkan dan
mengingat Allah semata.
c.
Zakat
Makna
etika yang terdapat dalam zakat jauh lebih jelas ketimbang pada ibadah lainnya.
Menurut al-Ghazali seseorang yng kemajuan spiritualnya tingkat terendah membayar
hanya sejumlah yang ditetapkan oleh syariat. Mereka yang tingkatannya lebih
tinggi memberikan lebih banyak dari sekadar memberikan syariah, karena mereka
menyimpan harta bukan untuk kesenangan tetapi hanya untuk memenuhi kebutuhan
mereka secukupnya. Pada tingkatan tertingi adalah orang-orang saleh yang
menyedekahkan segala harta mereka.
d. Haji
Untuk
mengetahui makna batinnya, orang harus memahami makna haji yang lebih dalam.
Menurut al-Ghazali haji di dalam Islam mempunyai sejarah panjang yang bermula
dari kebiasaan para pendeta yang terdahulu mengucilkan dirinya dari orang
banyak, lalu menyingkir ke puncak gunung dan mengasingkan diri dari manusia.
Meskipun
makna etika yang sangat luas, tetapi al-Ghazali dan para sufi lainnya tidak
sembarangan dalam menakwilkan hukum-hukum yang ada dalam ibadah haji. Tindakan
seperti berlari-lari kecil dan melempar jumrah tampaknya tidak ada kenikmatan
dan kepuasan yang dirasakan dan tidak ada penjelasan yang dapat diterima akal.
C. Konsepsi manusia dalam tasawuf Al-
Ghazali
Dalam bukunya Kimiā as-Sa’ādah
bab yang membahas tentang mengenal diri, al-Ghazali mengupas secara panjang
lebar cara bagaimana agar orang dapat mengenal dirinya sehingga bisa
mendekatkan diri kepada Allah Swt. Menurut al-Ghazali pengetahuan tentang diri
merupakan kunci pengetahuan tentang Tuhan dan membawa kepada tercapainya
kebahagiaan yang sebenarnya. Yang dimaksud pengenalan diri ini bukanlah
mengetahui bentuk luar seperti badan, muka dan anggota badan lainnya.
Pengetahuan tentang diri di sini adalah usaha untuk mengetahui apakah diri itu
sebenarnya, dari mana datangnya, kemana perginya, apa tujuannya datang ke dunia
ini, serta tentang kebahagiaan dan kesedihan.[4] Menurut al-Ghazali manusia itu memiliki sifat-sifat
binatang, sifat-sifat setan, dan sifat-sifat malaikat. Untuk mengetahui posisi
dirinya dan guna mendapatkan kebahagiaan seseorang harus mengetahui apa saja
isi ketiga sifat tersebut. Dari pengetahuannya itu ia harus berusaha
meningkatkan dirinya dengan menjauhi sifat-sifat binatang dan sifat-sifat
setan, kemudian berusaha menanamkan sifat-sifat malaikat pada dirinya.
Sifat hewan adalah makan, tidur dan berkelahi, sifat setan
mengobarkan kejahatan, tipuan dan kebohongan, sedangkan sifat malaikat selalu
merenungkan keindahan Tuhan dan tidak memiliki kualitas hewan. Untuk
meningkatkan derajat kemanusiaan seseorang harus menanamkan sifat malaikat
dalam dirinya dan menjaga dirinya agar jangan dikuasai nafsu dan amarah, karena
itu adalah sifat dari binatang. Kuasailah nafsu dengan mengendalikannya seperti
seseorang yang mengendalikan kuda dan jadikanlah amarah sebagai senjata.[5]
Manusia sendiri dari bentuk luar yang disebut jasad dan
bentuk dalam yang disebut sebagai hati atau ruh. Yang dimaksudkannya dengan
hati bukanlah sepotong daging yang terletak di bagian kiri badan, tetapi yang
dimaksudkan adalah sesuatu yang tidak dapat dilihat mata. Pengetahuan tentang
hati ini merupakan kunci pengetahuan tentang Allah. Dengan mengutip QS 17:85,
al-Ghazali tidak membedakan antara qalb dan ruh. Jasad digambarkan satu
kerajaan, ruh adalah rajanya. Tentaranya terdiri dari indera dan fakultas
lainnya. Nalar adalah perdana menteri, nafsu pemungut pajak dan amarah sebagai
polisi. Sebagai pemungut pajak, nafsu cenderung untuk mengambil sesuatu untuk
kepentingannya sendiri sedangkan amarah cenderung kepada kekasaran dan
kekerasan. Pemungut pajak dan petugas polisi haruslah posisinya di bawah raja,
tetapi tidak dimatikan karena mereka mempunyai tugasnya sendiri. Yang harus
dijaga agar nafsu dan amarah tidak menguasai nalar agar tidak terjadi
keruntuhan jiwa. Karena itu jiwa harus menjaga agar nafsu dan amarah tidak
mempengaruhninya dalam berpikir. Kualitas malaikat adalah esensi dari manusia
sedangkan kualitas hewan dan setan hanyalah bersifat aksidental. Esensi makhluk
adalah sesuatu yang tertinggi dan yang khas baginya. Kualitas tertinggi manusia
adalah nalar yang bisa merenungkan Tuhan. Jika fakultas malaikat yang
mendominasi dirinya maka ketika mati dia bisa berkawan dengan para malaikat.
Dalam hal kualitas hewan, manusia kalah dengan hewan tetapi unggul di bidang
nalar sehingga dapat mengalahkan hewan. Jika kecenderungan hewan yang
mendominasi dirinya maka pada waktu mati dia masih cenderung kepada dunia dan
kekayaannya. [6]
Dengan jiwa rasional manusia bisa mendapatkan pengetahuan
dan kekuatan. Pancainderanya dapat menangkap dunia kasat mata akan tetapi
hatinya mengarah ke dunia ruh. Hati ini bagaikan cermin bersih yang memancarkan
segala sesuatu yang ada di Lauhul Mahfūż. Namun dia dalam keadaan kotor
karena pikiran-pikiran keduniaan. Intuisi manusia juga bisa mendapatkan ilham
kenabian selama seseorang memurnikan dirinya dengan manjauhi syahwat-syahwat
badani dan memusatkan pikirannya kepada Tuhan. Selain itu jiwa yang demikian
juga mempunyai kekuatan sebagaimana kekuatan malaikat yang mampu mengatur alam.
Jiwa yang demikian dapat melihat hal-hal yang gaib pada saat-saat jaga, mampu
menggerakkan jasad-jasad di luar mereka dan mereka memperoleh ilmu bukan dengan
cara belajar tetapi lewat intuisi. Ketidakmampuan melihat alam rohani bisa juga
karena tercemarnya hati itu oleh pengetahuan duniawi. Karena itu pengetahuan
duniawi yang diperoleh melalui pancaindera harus dibuang sama sekali.[7]
Kebahagiaan dicapai tidak terlepas dari pengetahuan tentang
Tuhan. Semua nafsu badani akan musnah pada waktu orang mati, tetapi jiwa akan
menemui Tuhan dengan kebahagiaannya. Pengetahuan tentang Tuhan juga bisa
dilihat dari segi penciptaan manusia. Dari situ akan kelihatan kebijaksanaan,
kekuasaan dan cinta Tuhan kepada makhluk. Pengetahuan tentang jiwa sangat
penting untuk membimbing ke arah pengetahuan tentang Tuhan. Demikianlah
kebesaran jiwa manusia. [8]
Kebesaran manusia terletak pada kemampuannya untuk terus
menerus meraih kemajuan. Hal itu diperolehnya dengan kesusahan dan kesulitan.
Namun harus belajar untuk mengetahui dirinya untuk sampai kepada tingkat
malaikat, karena di dunia ini dia benar-benar sangat lemah. Ada gangguan
sedikit saja pada dirinya manjadikan ia tidak berdaya. Kekuatannya terletak
setelah mati dengan syarat ia berhasil meningkatkan dirinya tersebut.[9]
Al-Ghazali memandang manusia itu adalah qalbu karena qalbu
inilah yang bisa menerima ma’rifat. Manusia siap untuk menerima ma’rifat dengan
qalbunya tidak melalui anggota lainnya. Qalbulah yang mengetahui
Allah, yang berusaha kepada Allah. Qalbulah yang menyingkap apa yang di
sisi Allah. Dalam tasawufnya al-Ghazali sangat memperhatikan hal-hal yang
berhubungan dengan hati manusia, karena kunci untuk dapat mendekatkan diri kepada
Allah Swt adalah bersihnya hati. Hati yang bersih diibaratkan sebagai cermin
yang mengkilap dan dapat menerima gambaran dari luar secara jelas. Untuk bisa
ma’rifat kepada Allah kebersihan hati merupakan suatu kewajiban. Untuk itu
al-Ghazali membahas dengan jelas tentang hati dan fungsinya, disamping
pengertian ruh, nafs, dan akal.
Anggota-anggota badan adalah pengikut, pelayan dan alat yang
dipekerjakan oleh qalbu dan dipakainya sebagaimana pemilik memakai hamba
sahayanya dan sebagaimana para pemimpin mempekerjakan rakyatnya dan pembuat
mempekerjakan alatnya. Qalbulah yang diterima di sisi Allah apabila dia
selamat dari selain Allah dan terdinding dari Allah bila ia tenggelam dengan
selain Allah. Dialah yang berbahagia bila mensucikannya dan yang sengsara bila
mengotorinya.[10]
Selain membicarakan tentang qalbu, al-Ghazali juga mengemukakan
pengertian tentang an-nafs, ar-rūh, dan al-‘aql.
1. Qalb,
nafs, rūh, dan
‘aql
Qalbu mempunyai dua pengertian, pertama qalbu adalah daging
yang terletak pada sebelah kiri dada. Yaitu daging khusus yang di dalamnya ada
lobang dan di dalam lobang itu ada darah yang hitam yang menjadi sumber ruh dan
tambangnya. Qalbu yang seperti ini ada pada binatang dan juga pada orang
yang mati.[11]
Pengertian kedua adalah sesuatu yang halus, ketuhanan, kerohanian. Qalbu inilah
hakikat manusia, yang diajak bicara, yang disiksa, yang dicela dan dituntut. Qalbu
yang halus ini mempunyai kaitan dengan qalbu yang jasmani. Kaitannya
adalah bahwa dia mempunyai hubungan perangai yang terpuji dengan tubuh, dan
sifat-sifat dengan yang disifati atau kaitannya orang yang memakai alat dengan
alatnya atau kaitan orang yang bertempat dengan tempatnya.[12]
Tentang ruh (nyawa) ada dua pengertian. Pengertian pertama
adalah berupa tubuh halus yang sumbernya adalah lobang hati yang jasmani, lalu
tersebar dengan perantara urat-urat yang merasuk ke bagian-bagian badan
lainnya. Perjalanan ruh pada badan, banjirnya cahaya-cahaya kehidupan, perasaan,
penglihatan, pendengaran dan penciuman dari padanya atas semua anggota itu
menyerupai banjirnya cahaya dari lampu yang diputar di sudut-sudut rumah.
Sesungguhnya cahaya itu tidak sampai ke suatu bagian rumah melainkan ia
bersinar dengan cahaya itu.[13]
Adapun pengertian yang kedua adalah sesuatuyang halus dari manusia yang
mengerti lagi yang mengetahui dari manusia, dan inilah yang dimaksudkan dengan
firman Allah, al-Isrā: 85. “Katakanlah bahwa ruh itu adalah urusan Tuhanku.”
Dia adalah urusan Tuhan dan akal tidak dapat memahaminya.[14]
Tentang nafs juga terdapat dua pengertian. Pengertian
pertama adalah yang menghimpun kekuatan marah dan nafsu syahwat pada manusia.
Pengertian ini yang umumnya dipakai oleh ahli tasawuf. Karena mereka itu
menginginkan pengertiannya yang asli yang merupakan kumpulan sifat-sifat
manusia yang tercela. Lalu mereka mengatakan bahwa tidak boleh tidak melawan
nafsu dan memecahkannya. Untuk itu Rasulullah Saw mengisyaratkan dengan
bersabda: Paling berat musuhmu adalah nafsumu yang berada di antara dua
lambungmu.[15]
Adapun
pengertian kedua dari an-nafs adalah sesuatu yang halus yang pada
hakekatnya adalah manusia, yaitu nafs manusia dan zatnya. Akan tetapi
dia disifatkan dengan sifat yang berbeda-beda karena keadaannya yang
berbeda-beda. Apabila nafs itu tenang di bawah perintah dan kegoncangan
berpisah daripadanya karena menentang nafsu syahwat maka dia disebut dengan an-nafs
al-muṭma’innah, seperti
firman Allah Swt pada surah al-Fajr: 27:28. Arti pertama dari an-nafs
tidak dapat digambarkan kembalinya kepada Allah Swt dan dia menjauh dari Allah
Swt dan dia termasuk tentara setan. Dan apabila tidak sempurna ketenangannya
tetapi dia menjadi pendorong bagi nafsu syahwat dan penentang atasnya, maka
disebut an-nafs al-lawwāmah karena ia mencaci pemiliknya dan ia teledor
dalam beribadah kepada Tuhannya. Dalam surah al-Qiyāmah: 2 Allah Swt
berfirman yang artinya: dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali
(dirinya sendiri). Kalau nafs itu meninggalkan tantangan, tunduk dan
taat kepada tuntutan nafsu syahwat dan dorongan-dorongan setan, maka dia
dinamakan an-nafs al-ammārah (surah Yusuf: 53)[16]
Al-‘aql juga punya dua arti. Arti yang
pertama adalah bahwa akal itu kadang-kadang secara umum dimaksudkan ilmu
tentang hakekat perkara. Maka akal adalah ibarat dari sifat ilmu yang tempatnya
adalah hati.[17]
Pengertian yang kedua dimaksudkan bahwa akal kadang-kadang adalah yang
mengetahui ilmu-ilmu, kadang bisa berarti al-qalb dalam pengertian
sesuatu yang halus.[18]
Al-Qalb itu mempunyai dua tentara yaitu
tentara yang dapat dilihat dengan penglihatan dan yang tidak dapat dilihat
kecuali dengan penglihatan hati. Hati berkedudukan sebagai raja dan tentara
berkedudukan sebagai pelayan. Maksud adanya tentara bagi hati adalah untuk
melancarkan jalan hati itu mencapai ma’rifat. Sesungguhnya kendaraan
hati adalah badan dan perbekalannya adalah ilmu dan amal shalih yang
dilakukannya di dunia ini. Dunia adalah kebun akhirat. Karena itu
tentara-tentara hati yang dapat dilihat bisa membantunya untuk beramal shalih.[19]
2. Hati
dan Tentara Batin
Tentara batin yang berupa kemarahan
dan nafsu syahwat kadang-kadang bisa tunduk kepada perintah hati dan
kadang-kadang tidak. Kalau dia tunduk dia bisa membantu hati menuju jalan yang
ditujunya. Namun bilamana tentara kemarahan dan tentara nafsu syahwat ini
durhaka kepada hati, menyimpang dan melampaui batas maka keduanya bisa
menguasai hati dan memperbudak hati. Akhirnya kepergian hati untuk
merealisasikan tujuannya jadi tidak akan sampai.[20]
Namun hati masih mempunyai tentara lain, yaitu: ilmu,
hikmah, dan berpikir. Dan hak hati adalah meminta pertolongan kepada tentara
ini karena ia adalah tentara Allah Swt. Kadang-kadang tentara kemarahan dan
tentara nafsu syahwat itu meminta bantuan kepada tentara setan sedangkan hati
kalau tidak meminta bantuan kepada tentara Tuhan tadi maka hati akan binasa dan
rugi. Demikian pada umumnya keadaan makhluk manusia. Akal mereka tunduk kepada
nafsu syahwatnya. Seharusnya nafsu syahwat itu tunduk kepada akal mereka.[21]
3.
Kekhususan Qalbu
Pada manusia terdapat empat macam sifat, sabu’iyah (kebuasan),
bahimiyah (kebinatangan), syaiṭaniyah
(kesetanan), dan rabbaniyah (ketuhanan).
Semua sifat itu terkumpul dalam hati. Apabila ia menanamkan sifat ketuhanan
dalam dirinya, taat kepada Allah Swt dengan menentang sifat nafsu syahwat
membuat hatinya jadi berkilau. Sedangkan perbuatan maksiat kepadaNya menjadikan
hati kotor dan hitam. Maka terangnya hati bisa diusahakan dengan zikir, dan
takwa adalah pintu zikir. Zikir pintu kasyaf dan kasyaf adalah
kebahagiaan dengan bertemu Allah Swt.[22]
Orang yang beriman terbagi tiga tingkatan. Tingkatan pertama
adalah imannya orang awam. Mereka beriman karena taklid. Yang kedua imannya
mutakallimin yang derajatnya mendekati iman orang awam. Yang ketiga adalah
imannya orang arifin. Iman yang ketiga ini lebih kuat karena mereka
mendapatkannya langsung dari Tuhan.[23]
Kekhususan qalbu manusia dapat dilihat pada ilmu
pengetahuan dan kehendak (iradah). Adapun ilmu maka adalah ilmu tentang
urusan dunia dan akhirat dan hakekat-hakekat yang berhubungan dengan akal.
Sesungguhnya semua ini adalah urusan-urusan di luar apa yang ditangkap oleh
panca indera. Adapun iradah maka apabila dapat diketahui dengan akal,
akan akibat suatu perkara dan jalan kebaikan padanya, niscaya bangkit
daripadanya keinginan kepada segi kemaslahatan dan kepada mencari
sebab-sebabnya dan kehendak. Dan demikian itu bukan kehendak nafsu syahwat dan
kehendak binatang. Jadi hati manusia itu khusus ditujukan kepada ilmu dan
iradah yan mana semua hewan terlepas daripadanya. Kekhususan manusia adalah
pada ilmu dan hikmah. Dan paling mulia di antara macam-macam ilmu ialah ilmu
tentang Allah, sifat-sifatNya dan perbuatan-perbuatanNya. Pada ilmu itu
kesempurnaan manusia dan pada kesempurnaan manusia itu kebahagiaannya dan
kepatuhannya untuk berdekatan di sisi Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Sempurna.
Kadang-kadang manusia itu berada pada tingkatan binatang dan kadang-kadang
tingkatan malaikat. Sedangkan tingkatannya yang sebenarnya adalah berada pada
tingkatan binatang dan malaikat.[24]
Qalbu siap menerima dua macam ilmu, ilmu akliah dan ilmu
syar’iyah. Ilmu akliah terbagi dua, ilmu dharuri dan ilmu yang diusahakan. Ilmu
yang diusahakan itu terdiri dari ilmu duniawi dan ilmu ukhrawi.[25]
Ilmu yang bukan dharuri kadang-kadang diperoleh begitu saja dan
kadang-kadang diperoleh dengan belajar. Pengetahuan yang diperoleh tanpa usaha
disebut dengan ilham. Ilmu yang didapatkan karena ilham itu diperoleh oleh para
wali dan orang suci karena kasih saying Tuhan. Adapun ilmu yang didapat karena
wahyu diberikan kepada para Nabi. Ilmu yang didapat karena usahanya mencari
ilmu dikhususkan untuk para ulama.[26]
Adapun
orang-orang sufi tidak tertarik kepada ilmu ta’limiyah. Mereka lebih tertarik
pada ilmu ilhamiyah. Para Nabi dan wali mengetahui masalah-masalah ghaib karena
dada mereka dipenuhi oleh Nur Ilahi yang mereka dapatkan tanpa belajar, cukup
dengan cara hidup zuhud.[27]
Hati itu mempunyai dua pintu, pintu yang terbuka kepada alam malakut dan pintu
satunya lagi terbuka kepada panca indera dan alam syahadah. Ilmu para Nabi dan
wali datang dari pintu yang terbuka kealam malakut, sedangkan ilmu hikmah
datang dari pintu panca indera. Hati harus dijaga dari perbuatan-perbuatan yang
merusak dan harus selalu dibersihkan dengan melakukan perbuatan-perbuatan
terpuji agar tercapai kepada derajat akhlak kenabian. Penguasaan setan atas
hati mengakibatkan terhalangnya ilmu-ilmu yang diperoleh dengan ilham.
Al-Ghazali juga menguraikan tentang qalb dan nafs
serta kebahagiaan dalam kita Kimiā as-Sa’ādah. Diri itu terbagi dua,
yang pertama disebut qalb dan yang kedua nafs dan ruh. An-Nafs
adalah qalbu yang dikenal dengan mata batin. Jadi qalbu bukanlah
sepotong daging yang terletak di dada bagian kiri. Karena hal ini juga terdapat
pada binatang dan orang yang sudah meninggal. Dan segala sesuatu yang dapat
dilihat dengan mata lahir dinamakan dengan alam syahādah.[28]
Adapun qalbu yang sebenarnya bukan seperti
dimaksudkan di atas akan tetapi yang terdapat di alam gaib. Seluruh anggota
tubuh adalah askarnya sedangkan qalbu itu sendiri rajanya. Sifatnya
adalah ma’rifatullah dan musyahadah akan keindahan hadhrat Ilahi.[29]
Qalbu diibaratkan oleh al-Ghazali dengan cermin, dan demikian juga
dengan lauh al-mahfuẓ karena di sana terdapat semua gambaran yang wujud. Apabila
dua cermin itu saling dihadapkan maka akan terlihat gambar yang ada di cermin
yang satu pada cermin lainnya. Demikian juga akan nampak apa yang ada di lauh
al-mahfuẓ itu oleh qalbu bilamana qalbu tersebut bebas
dari kotoran dunia. Tetapi bilamana qalbu itu kotor maka apa yang ada di
alam malakut itu menjadi tertutup baginya.[30]
Qalbu tidak akan dapat membaca apa yang ada di alam malakut selama ia tidak
memisahkan kesibukannya dengan urusan dunia. Ilham tidak masuk melalui indra
manusia tetapi langsung ke qalbu yang bersih tanpa diketahui dari mana
datangnya. Qalbu termasuk alam malakut tetapi akan tertutup untuk
mengetahui yang gaib bilama dia diarahkan ke urusan dunia.[31]
Sehubungan dengan ajaran tasawufnya, al-Ghazali juga
membedakan antara wali dan Nabi. Konsep insan kamil (manusia yang sempurna)
diungkap al-Ghazali dalam kitab al-Munqiż min ad-Ḍalāl.[32]
Karamat auliya merupakan bidayat auliya.
Orang awam tidak dapat memahami ini karena mereka tidak mengalaminya sendiri
dan orang yang mengalaminya, yaitu para sufi, pengalaman ini tidak bisa
dijelaskan dengan perkataan. Orang sufi merasakan ini melalui żauq. Orang
yang menempuh jalan sufi akan mengetahui hakekat kenabian. Kalau akal merupakan
satu tingkat dimana manusia dapat melihat alam gaib serta rahasia lainnya yang
tak dapat diketahui oleh akal. Sifat khas kenabian hanya dapat diketahui
melalui żauq dengan menempuh jalan sufi.
Jadi
gambaran manusia yang dikehendaki oleh al-Ghazali manusia yang bersih qalbunya
dengan cara mengamalkan ajaran tasawuf sehingga akhirnya seseorang sampai ke
tujuan ma’rifat kepada Allah Swt. Al-Ghazali membagi manusia kepada empat
golongan, yaitu para anbiya, para wali, ulama, dan orang awam. Para anbiya
adalah orang yang mendapatkan wahyu dan ilmu dari Tuhan, para wali orang yang
mengamalkan ajaran tasawuf sehingga bersih hatinya dan akhirnya mendapatkan
ilmu gaib yang terdapat di lauh al-mahfuẓ
melalui ilham. Sedangkan para ulama
adalah mereka yang mendapatkan ilmunya melalui belajar yang dinamakan dengan
ilmu ta’limiyah atau ilmu mu’amalah. Yang inti dari manusia adalah qalbunya.
Dan qalbu yang disucikan melalui jalan tasawuf bisa mengangkat
derajatnya yang lebih tinggi dari malaikat.
BAB III
KESIMPULAN / PENUTUP
Nama lengkap Al Ghazali adalah Abu
Hamid Ibn Muhammad Ibn Ahmad Al Ghazali, lebih dikenal dengan Al Ghazali. Lahir
di Provinsi Khurasan, Republik Islam Irak, tahun 450 H (1058 M). Ayahnya adalah
memintal benang wol.
Awal mula Al Ghazali mengenal tashawuf adalah ketika sebelum
ayahnya meninggal, namun dalam hal ini ada dua versi: ayahnya sempat menitipkan
Al Ghazali kepada saudaranya, Ahmad seorang sufi. Sejak kecil, Al Ghazali
dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu. Al Juwaini kemudian memberinya
gelar Bahrûm Mughrîq (laut yang menenggelamkan). Dan empat tahun Al Ghazali
bergelimang ilmu pengetahuan dan kemewahan duniawi. Di masa inilah dia banyak
menulis buku-buku ilmiah dan filsafat. Bermacam-macam pertanyaan timbul dari
hati sanubarinya. Dia menyingkir dari kursi kebesaran ilmiahnya di Baghdad
menuju Mekkah, kemudian ke Damaskus dan tinggal disana sambil mengisolir diri
untuk beribadah dan mengambil jalan sufi. Ia wafat pada tanggal 14 Jumâdil
Akhir tahun 505 H (1111 M) dalam usia 55 tahun.
al Ghazali
mengemukakan akan pemikiran nya tentang etika dalam pandangan sufistik bahwa
penilaian baik dan buruk tidak hanya bisa berhenti dalam dhohir saja ,akan tetapi
bergerak sampai tataran praktis dan batin, adapun pembagian dalam pemikran
sufistik al Ghazali adalah sebagai berikut :
1. Kebahagiaan
·
Positive
·
Negative
2. Baik dan Buruk
3. Kewajiban agama seperti : salat ,
haji ,zakat,puasa
Menurut al Ghazali manusia itu memiliki sifat-sifat binatang
,sifat-sifat setan ,sifat-sifat malaikat, dan memandang bahwa manusia itu
adalah Qolbu karena Qolbu inilah yang menyampaikan manusia pada
ma’rifat sedangkan anggota badan adalah
pengikut,pelayan dan alat yang dipekerjakan oleh Qolbu.
Demikianlah paparan kami tentang “etika sufistik al
Ghazali” guna menambah wawasan akan khazanah ke ilmuan dan memenuhi
tugas mata kuliah kami, kami tetap berharap akan adanya kritik dan saran guna
melengkapi kekurangan dari makalah kami karena kami tetaplah hanya manusia
biasa yang jauh dari kesempurnaan.
Kami mohon maaf apabila dalam makalah ini masih ada
kesalahan baik dalam penyampaian ataupun selainnya, demikian dari kami dan
terima kasih.
Fote note
:
[3]
Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak (Jakarta: Amzah. 2011),
h. 325
[10]Ihya, jld. 2, hlm. 204 [11]Ibid., hlm. 206. [12] Ibid. [13]Ibid. [14]Ibid. [15] Ibid. [16] Ibid. [17] Ibid. [18] Ibid. [19] Ibid., hlm. 207. [20] Ibid., hlm. 209. [21] Ibid. [22] Ibid., hlm. 213-214. [23] Ihya, jld. II, hlm. 218. [24] Ibid., hlm. 210-212. [25] Ibid., hlm. 219. [26] Ibid., hlm. 221. [27] Ibid.
[28] Al-Ghazali (Majmu’ah ar-Rasā’il), Kimiā
as-Sa’ādah, (Beirut: Daar al-Fikri, 1996), hlm. 420. [29] Ibid., hlm. 421. [30] Ibid., hlm. 425. [31] Ibid.