Jumat, 11 November 2016



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang permasalahan
Dalam tradisi sufi seorang manusia tidak hanya memerhatikan hal yang bersifat lahir,tetapi juga sesuatu yang bersifat batin yang kesemuanya itu tidak terlepas dari masalah hawa nafsu dan penyakit jiwa. Dalam pemikiran pokok tentang etika yang akan dibahas selanjutnya tidak terlepas dari masalah yang ada dalam tradisi sufi itu sendiri. Oleh karena itu kami mencoba membahas konsep etika dalam tradisi sufi dengan mengangkat salah satu tokoh sufistik yang terkenal di masanya yang saat itu dikenal dengan imam Al Ghazali sebagai kontribusi kecil kami dalam menambah khazanah keilmuan. Selain itu, ini juga sebagai bentuk tanggung jawab kami dalam memenuhi tugas terstruktur pada mata kuliah yang kami tempuh.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang kami angkat dalam makalah ini sebagai berikut:
  • Bagaimana Riwayat Hidup Al Ghazali ?
  • Bagaimanakah etika sufistik imam al Ghazali ?
  • Bagaimana konsepsi manusia dalam tasawuf al-Ghazali ?
C. Tujuan Pembahasan Masalah
Adapun tujuan dari pembahasan masalah di atas adalah sebagai berikut:
  1. Mengetahui Riwayat Hidup Al Ghazali.
  2. Mengetahui etika sufistik Al Ghazali.
  3. Mengetahui konsepsi manusia dalam tasawuf al Ghazali.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Al Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Ahmad Al Ghazali, lebih dikenal dengan Al Ghazali. Dia lahir di kota kecil yang terletak di dekat Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Irak pada tahun 450 H (1058 M).[1.1] Nama Al Ghazali ini berasal dari ghazzal, yang berarti tukang pintal benang, karena pekerjaan ayahnya adalah memintal benang wol. Sedangkan Ghazali juga diambil dari kata ghazalah, yaitu nama kampung kelahiran Al Ghazali dan inilah yang banyak dipakai, sehingga namanya pun dinisbatkan oleh orang-orang kepada pekerjaan ayahnya atau kepada tempat lahirnya.[1.2]
Orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf, karena orang tuanya hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri dari menenun wol. Ia juga terkenal pecinta ilmu dan selalu berdo’a agar anaknya kelak menjadi seorang ulama. Amat disayangkan ajalnya tidak memberikan kesempatan padanya untuk menyaksikan keberhasilan anaknya sesuai do’anya.
Awal mula Al Ghazali mengenal tashawuf adalah ketika sebelum ayahnya meninggal, namun dalam hal ini ada dua versi:
Ayahnya sempat menitipkan Al Ghazali kepada saudaranya yang bernama Ahmad. Ia adalah seorang sufi, dengan bertujuan untuk dididik  dan dibimbingnya dengan baik.
Ayahnya menitipkan Al Ghazali bersama saudaranya Ahmad kepada seorang sufi, untuk didik dan dibimbing dengan baik.
Sejak kecil, Al Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu. Karenanya, tidak heran sejak masa kanak-kanak, ia telah belajar dengan sejumlah guru di kota kelahirannya. Diantara guru-gurunya pada waktu itu adalah Ahmad Ibn Muhammad Al Radzikani. Kemudian pada masa mudanya ia belajar di Nisyapur juga di Khurasan, yang pada saat itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid Imam Al Haramaîn Al Juwaini yang merupakan guru besar di Madrasah An Nizhâmiyah Nisyapur. Al Ghazali belajar teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme dan ilmu-ilmu alam.[1.3]
Berdasarkan kecerdasan dan kemauannya yang luar biasa, Al Juwaini kemudian memberinya gelar Bahrûm Mughrîq (laut yang menenggelamkan). Al Ghazali kemudian meninggalkan Naisabur setelah Imam Al Juwaini meninggal dunia pada tahun 478 H (1085 M). Kemudian ia berkunjung kepada Nizhâm Al Mâlik di kota Mu’askar. Ia mendapat penghormatan dan penghargaan yang besar, sehingga ia tinggal di kota itu selama 6 tahun. Pada tahun 1090 M ia diangkat menjadi guru di sebuah Nizhâmiyah, Baghdad. Pekerjaan itu dilakukan dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad, selain mengajar, ia juga memberikan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan bathiniyyah, ismâiliyyah, golongan filsafat dan lain-lain. Setelah mengajar di berbagai tempat, seperti di Baghdad, Syam dan Naisabur, akhirnya ia kembali ke kota kelahirannya di Thus pada tahun 1105 M.
Empat tahun lamanya Al Ghazali memangku jabatan tersebut, bergelimang ilmu pengetahuan dan kemewahan duniawi. Di masa inilah dia banyak menulis buku-buku ilmiah dan filsafat. Tetapi keadaan yang demikian tidak selamanya mententramkan hatinya. Di dalam hatinya mulai timbul keraguan, pertanyaan-pertanyaan batinnya mulai muncul, ‘inikah ilmu pengetahuan yang sebenarnya?’, ‘Inikah kehidupan yang dikasihi Allah?’, ‘Inikah cara hidup yang diridhai Tuhan?’, dengan mereguk madu dunia sampai ke dasar gelasnya. Bermacam-macam pertanyaan timbul dari hati sanubarinya. Keraguan terhadap daya serap indera dan olahan akal benar-benar menyelimuti dirinya. Akhirnya dia menyingkir dari kursi kebesaran ilmiahnya di Baghdad menuju Mekkah, kemudian ke Damaskus dan tinggal disana sambil mengisolir diri untuk beribadah.
Ia mulai tentram dengan jalannya di Damaskus, yakni jalan sufi. Ia tidak lagi mengandalkan akal semata-mata, tetapi juga kekuatan nûr yang dilimpahkan Tuhan kepada para hamba-Nya yang bersungguh-sumgguh menuntut kebenaran. Dari Damaskus ia kembali ke Baghdad dan kembali ke kampungnya di Thus. Di sini ia menghabiskan hari-harinya dengan mengajar dan beribadah sampai ia dipanggil Tuhan ke hadirat-Nya pada tanggal 14 Jumâdil Akhir tahun 505 H (1111 M) dalam usia 55 tahun dengan meninggalkan beberapa anak perempuan. Dan ada juga yang mengatakan bahwa beliau meninggal usia 54 tahun.[1.4]
B.     Etika sufistik al- Ghazali
Dalam tradisi sufi seorang manusia tidak hanya memerhatikan hal yang bersifat lahir,tetapi juga sesuatu yang bersifat batin yang kesemuanya itu tidak terlepas dari masalah hawa nafsu dan penyakit jiwa. Dalam pemikiran pokok etika al-Ghazali yang akan dibahas selanjutnya tidak terlepas dari masalah yang ada dalam tradisi sufi itu sendiri dimana al-Ghazali menekankan perbuatan yang bersifat batin dan kebebasan manusia dari segala hawa nafsu yang akan merusak segala bentuk kewajiban agamanya. Mengenai hubungan pemikiran pokok etika al-Ghazali mempunyai persamaan yaitu sama-sama membahas masalah nilai baik dan buruk dan perbedaannnya berhenti pada tataran teori dan lahir saja, akan tetapi al-Ghazali bergerak sampai pada tataran praktis dan batin.
Al-Ghazali mengalami kehidupan sufi dengan cara unik dan berbeda dengan bentuk-bentuk tasawuf yang lazim pada masanya. Ia tidak tertarik terhadap cara yang mempergunakan perantaraan seorang syeikh sebagai panutan maupun aturan-aturan ketat yang harus dijalani oleh mereka yang ingin menuju Allah swt. Menurut al-Ghazali, Rasulullah saw adalah satu-satunya manusia yang paling layak untuk dijadikan panutan, pembimbing, pendidik atau guru. Maka tidak salah kalau al-Ghazali dalam membangun mazhab etika selalu bersandarkan dengan syariat agama.[1]
Dalam Ihya Ulum al-Din, al-Ghazali mendefinisikan etika yang disebutkan dalam literatur Nya dengan akhlak sebagai berikut:
“ Etika atau akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.”
Etika adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia sehingga ia akan secara spontan bilamana diperlukan tanpa perlu memikirkan pemikiran ataupun pertimbangan lebih dalam serta tidak memerlukan dorongan dari luar. Selanjutnya di bawah ini akan dijelaskan mengenai pokok pemikiran etika al-Ghazali yang terdiri dari: kebahagiaan, baik dan buruk dan kewajiban agama.
1.      Kebahagiaan
Menurut al-Ghazali kebahagiaan itu mempunyai dua segi, negatif dan positif. Segi negative yang berkenaan dengan kebahagiaan tetapi pada dasarnya bukan kebahagiaan, sedangkan aspek positifnya yang berhubungan dengan hakikat kebahagiaan. Al-Ghazali membahas kebahagiaan ini dengan terlebih dahulu menyerang pandangan umum hedonisme, yang berpendapat bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk menikmati kesenangan dan kenikmatan hidup di dunia ini. Al-Ghazali memandang kehidupan dunia sebagai perantara bukan sebagai tujuan, sekaligus sebagai ibadah untuk Allah swt.
Al-Ghazali menyatakan bahwa menyatakan bahwa mengabaikan kebahagiaan ukhrawi jelas merupakan suatu kebodohan, karena kelalaianlah yang tidak memerdulikannya. Bahkan dengan dasar mencari kebahagiaan ukhrawi, al-Ghazali membagi manusia dalam empat golongan:
Golongan pertama adalah orang-orang yang meyaikini adanya kematian, hari kiamat, surga dan neraka seperti dijelaskan dalam ajaran agama yang tersurat dalam al-Quran. Mereka menyadari bahwa surga dapat membangkitkan kebahagiaan dan kenikmatan yang sulit digambarkan dengan kata-kata, sebab surga merupakan sesuatu yang sebelumnya belum pernah dilihat, didengar dan terdetik dalam hati manusia, mereka itulah muslim-muslim sejati.
Golongan kedua adalah para filsuf muslim yang mengakui adanya kenikmatan yang bentuknya terbayangkan oleh manusia mereka menamakannya dengan kenikmatan aqli. Sebaliknya mereka mengingkari adanya kenikmatan ukhrawi yang dirasakan dalam kondisi terjaga.
Golongan ketiga adalah mereka yang menafikan kenikmatan inderawi baik dalam wujud nyata maupun dalam bentuk fantasi. Mereka berdalih bahwa fantasi hanya dapat dihasilkan oleh perangkat fisik, dan kematian akan memutuskan hubungan antara jiwa dan badan yang merupakan piranti untuk berfantasi serta mengindera.[2]
Golongan keempat adalah kelompok orang-orang bodoh, bukan ahli pikir. Menurut mereka kematian hanyalah proses kebinasaan belaka, ketaatan dan kemaksiatan tidak berakibat apapun, dan manusia akan sirna sebagaimana sebelum mereka diciptakan.

2.      Baik dan Buruk
Dalam kitab Mizan al-Amal, al-Ghazali mendefinisikan bahwa akhlak yang baik adalah suatu usaha untuk menghilangkan seluruh kebiasaan-kebiasaan buruk yang telah dijelaskan oleh syariat, mengarahkan akhlak agar membenci dan menghindari sebagaimana menghindari hal-hal najis dan kotor serta membiasakan dengan kebiasaan yang baik sehingga selalu rindu pada perbuatan baik tersebut.
Dalam kitab Ihya Ulum al-Din, al-Ghazali pun memberikan pengertian akhlak atau etika yang berkenaan dengan baik dan buruk. Menurutnya, jika suatu sifat melahirkan suatu tindakan yang keji menurut ketentuan akal dan syariat itu dinamakan akhlak yang baik. Namun manakala ia melahirkan tindakan yang jahat, maka dinamakan akhlak yang buruk. Akan tetapi menurut al-Ghazali pengertian akhlak atau etika mengenai baik dan buruk bukan sekadar pengetahuan (ma’rifah), kodrat (qudrah), bukan pula pengamalan (fi’l), melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap. Secara garis besar keutamaan jiwa dikelompokkan menjadi empat, yaitu kebijaksanaan (al-Hikmah), keberanian (al-Syaja’ah), menjaga diri dari sesuatu yang tidak baik (al-‘Iffah), dan keadilan (al-‘Adl).
Yang dimaksud dengan hikmah adalah keutamaan jiwa yang digunakan untuk mengendalikan potensi amarah dan hawa nafsu dan mengatur gerakan keduanya dengan kadar pengekangan dan pelapasan yang tepat dan ia merupakan barometer penentu baik buruknya amal perbuatan.
Keberanian merupakan keutamaan jiwa, dengannya potensi amarah dan kesatria akan mendorong hati yang terdidik dan terlatih untuk segera melakukan maupun menahan tindakan yang diperlukan. Menurut al-Ghazali sifat berani berada diantara dua sifat buruk, yaitu terburu nasfu atau kurang perhitungan dan penakut.
Adapun sifat sifat iffah merupakan keutamaan potensi hawa nafsu yang dengan mudah tunduk kepada potensi hati, ia dikelilingi oleh dua sifat rendah yaitu rakus dan terlalu tenang. Rakus merupakan sifat syahwat yang sangat berlebihan dalam memburu kenikmatan-kenikmatan yang dipandang buruk dan dilarang oleh potensi hati. Sedangkan terlalu tenang merupakan ketenangan syahwat dari memeroleh serta melakukan sesuatu yang diperintahkan oleh akal.
Adapun keadilan didefinisikan sebagaikeadaan jiwa dimana amarah dan hawa nafsu dikendalikan dibawah perintah akal dan syariat. Keadaan dimana akal, nafsu dan amarah dijaga dalam kewajarannya dan dipenuhi haknya masing-masing. Keadilan dalam jiwa adalah daerah diantara segala bentuk keadilan manusiawi dan inilah yang relevan dengan akhlak yang baik.
3.      Kewajiban Agama
Karena masalah baik dan buruk tidak hanya masalah lahir tetapi juga masalah batin, oleh karena itu manusia terkena kewajiban agama yang bersifat ritual yang di dalamnya tidak hanya berisi makna lahir tetapi juga makna batin yang kesemuanya itu dilakukan demi mencapai tujuan tertinggi manusia yaitu kebahagiaan ukhrawi.
Selanjutnya al-Ghazali lewat karya-karyanya yang memikat, menyentuh dan penuh persepsi mengajak kita untuk menjelajahi kawasan ruhaniah dari ibadah, yaitu ibadah-ibadah pokok yang diwajibkan bagi umat Islam. Oleh karena itu, di bawah ini diungkapkan makna-makna batiniah ibadah pokok umat Islam, seperti: shalat, puasa, zakat dan haji dalam tataran etika sufi al-Ghazali.
a.       Shalat
Al-Ghazali menyatakan bahwa shalat memiliki kandungan etika yang lahir. Hal itu dapat dilihat dari dua hal, pertama keadaan batin yang mendorong  penyempurnaan makna shalat, kedua dari syarat lahir pada setiap tahapan shalat. Yang dimaksud dengan keadaan batin penyempurnaan makna shalat adalah bahwa di dalam pikiran orang yang shalat harus mempunyai enam sifat, yaitu: kesadaran, pemahaman, pengagungan, kedahsyatan, harap dan rasa malu.
b.      Puasa
Ada tiga tingkatan puasa yaitu: puasa awam, puasa khusus dan puasa sangat khusus. Puasa biasa atau awam berarti hanya menahan diri terhadap makan, minum dan yang membatalkannya. Sedangkan puasa khusus berarti menjaga seluruh anggota badan dari berbuat dosa.[3] Adapun puasa sangat khusus yaitu memuasakan hati dengam mencagahnya dari memikirkan hal-hal yang hina dan duniawi, sehingga hanya memikirkan dan mengingat Allah semata.
c.       Zakat
Makna etika yang terdapat dalam zakat jauh lebih jelas ketimbang pada ibadah lainnya. Menurut al-Ghazali seseorang yng kemajuan spiritualnya tingkat terendah membayar hanya sejumlah yang ditetapkan oleh syariat. Mereka yang tingkatannya lebih tinggi memberikan lebih banyak dari sekadar memberikan syariah, karena mereka menyimpan harta bukan untuk kesenangan tetapi hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka secukupnya. Pada tingkatan tertingi adalah orang-orang saleh yang menyedekahkan segala harta mereka.
d.      Haji
Untuk mengetahui makna batinnya, orang harus memahami makna haji yang lebih dalam. Menurut al-Ghazali haji di dalam Islam mempunyai sejarah panjang yang bermula dari kebiasaan para pendeta yang terdahulu mengucilkan dirinya dari orang banyak, lalu menyingkir ke puncak gunung dan mengasingkan diri dari manusia.
Meskipun makna etika yang sangat luas, tetapi al-Ghazali dan para sufi lainnya tidak sembarangan dalam menakwilkan hukum-hukum yang ada dalam ibadah haji. Tindakan seperti berlari-lari kecil dan melempar jumrah tampaknya tidak ada kenikmatan dan kepuasan yang dirasakan dan tidak ada penjelasan yang dapat diterima akal.
C.    Konsepsi manusia dalam tasawuf Al- Ghazali
Dalam bukunya Kimiā as-Sa’ādah bab yang membahas tentang mengenal diri, al-Ghazali mengupas secara panjang lebar cara bagaimana agar orang dapat mengenal dirinya sehingga bisa mendekatkan diri kepada Allah Swt. Menurut al-Ghazali pengetahuan tentang diri merupakan kunci pengetahuan tentang Tuhan dan membawa kepada tercapainya kebahagiaan yang sebenarnya. Yang dimaksud pengenalan diri ini bukanlah mengetahui bentuk luar seperti badan, muka dan anggota badan lainnya. Pengetahuan tentang diri di sini adalah usaha untuk mengetahui apakah diri itu sebenarnya, dari mana datangnya, kemana perginya, apa tujuannya datang ke dunia ini, serta tentang kebahagiaan dan kesedihan.[4] Menurut al-Ghazali manusia itu memiliki sifat-sifat binatang, sifat-sifat setan, dan sifat-sifat malaikat. Untuk mengetahui posisi dirinya dan guna mendapatkan kebahagiaan seseorang harus mengetahui apa saja isi ketiga sifat tersebut. Dari pengetahuannya itu ia harus berusaha meningkatkan dirinya dengan menjauhi sifat-sifat binatang dan sifat-sifat setan, kemudian berusaha menanamkan sifat-sifat malaikat pada dirinya.
Sifat hewan adalah makan, tidur dan berkelahi, sifat setan mengobarkan kejahatan, tipuan dan kebohongan, sedangkan sifat malaikat selalu merenungkan keindahan Tuhan dan tidak memiliki kualitas hewan. Untuk meningkatkan derajat kemanusiaan seseorang harus menanamkan sifat malaikat dalam dirinya dan menjaga dirinya agar jangan dikuasai nafsu dan amarah, karena itu adalah sifat dari binatang. Kuasailah nafsu dengan mengendalikannya seperti seseorang yang mengendalikan kuda dan jadikanlah amarah sebagai senjata.[5]
Manusia sendiri dari bentuk luar yang disebut jasad dan bentuk dalam yang disebut sebagai hati atau ruh. Yang dimaksudkannya dengan hati bukanlah sepotong daging yang terletak di bagian kiri badan, tetapi yang dimaksudkan adalah sesuatu yang tidak dapat dilihat mata. Pengetahuan tentang hati ini merupakan kunci pengetahuan tentang Allah. Dengan mengutip QS 17:85, al-Ghazali tidak membedakan antara qalb dan ruh. Jasad digambarkan satu kerajaan, ruh adalah rajanya. Tentaranya terdiri dari indera dan fakultas lainnya. Nalar adalah perdana menteri, nafsu pemungut pajak dan amarah sebagai polisi. Sebagai pemungut pajak, nafsu cenderung untuk mengambil sesuatu untuk kepentingannya sendiri sedangkan amarah cenderung kepada kekasaran dan kekerasan. Pemungut pajak dan petugas polisi haruslah posisinya di bawah raja, tetapi tidak dimatikan karena mereka mempunyai tugasnya sendiri. Yang harus dijaga agar nafsu dan amarah tidak menguasai nalar agar tidak terjadi keruntuhan jiwa. Karena itu jiwa harus menjaga agar nafsu dan amarah tidak mempengaruhninya dalam berpikir. Kualitas malaikat adalah esensi dari manusia sedangkan kualitas hewan dan setan hanyalah bersifat aksidental. Esensi makhluk adalah sesuatu yang tertinggi dan yang khas baginya. Kualitas tertinggi manusia adalah nalar yang bisa merenungkan Tuhan. Jika fakultas malaikat yang mendominasi dirinya maka ketika mati dia bisa berkawan dengan para malaikat. Dalam hal kualitas hewan, manusia kalah dengan hewan tetapi unggul di bidang nalar sehingga dapat mengalahkan hewan. Jika kecenderungan hewan yang mendominasi dirinya maka pada waktu mati dia masih cenderung kepada dunia dan kekayaannya. [6]
Dengan jiwa rasional manusia bisa mendapatkan pengetahuan dan kekuatan. Pancainderanya dapat menangkap dunia kasat mata akan tetapi hatinya mengarah ke dunia ruh. Hati ini bagaikan cermin bersih yang memancarkan segala sesuatu yang ada di Lauhul Mahfūż. Namun dia dalam keadaan kotor karena pikiran-pikiran keduniaan. Intuisi manusia juga bisa mendapatkan ilham kenabian selama seseorang memurnikan dirinya dengan manjauhi syahwat-syahwat badani dan memusatkan pikirannya kepada Tuhan. Selain itu jiwa yang demikian juga mempunyai kekuatan sebagaimana kekuatan malaikat yang mampu mengatur alam. Jiwa yang demikian dapat melihat hal-hal yang gaib pada saat-saat jaga, mampu menggerakkan jasad-jasad di luar mereka dan mereka memperoleh ilmu bukan dengan cara belajar tetapi lewat intuisi. Ketidakmampuan melihat alam rohani bisa juga karena tercemarnya hati itu oleh pengetahuan duniawi. Karena itu pengetahuan duniawi yang diperoleh melalui pancaindera harus dibuang sama sekali.[7]
Kebahagiaan dicapai tidak terlepas dari pengetahuan tentang Tuhan. Semua nafsu badani akan musnah pada waktu orang mati, tetapi jiwa akan menemui Tuhan dengan kebahagiaannya. Pengetahuan tentang Tuhan juga bisa dilihat dari segi penciptaan manusia. Dari situ akan kelihatan kebijaksanaan, kekuasaan dan cinta Tuhan kepada makhluk. Pengetahuan tentang jiwa sangat penting untuk membimbing ke arah pengetahuan tentang Tuhan. Demikianlah kebesaran jiwa manusia. [8]
Kebesaran manusia terletak pada kemampuannya untuk terus menerus meraih kemajuan. Hal itu diperolehnya dengan kesusahan dan kesulitan. Namun harus belajar untuk mengetahui dirinya untuk sampai kepada tingkat malaikat, karena di dunia ini dia benar-benar sangat lemah. Ada gangguan sedikit saja pada dirinya manjadikan ia tidak berdaya. Kekuatannya terletak setelah mati dengan syarat ia berhasil meningkatkan dirinya tersebut.[9]
Al-Ghazali memandang manusia itu adalah qalbu karena qalbu inilah yang bisa menerima ma’rifat. Manusia siap untuk menerima ma’rifat dengan qalbunya tidak melalui anggota lainnya. Qalbulah yang mengetahui Allah, yang berusaha kepada Allah. Qalbulah yang menyingkap apa yang di sisi Allah. Dalam tasawufnya al-Ghazali sangat memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan hati manusia, karena kunci untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt adalah bersihnya hati. Hati yang bersih diibaratkan sebagai cermin yang mengkilap dan dapat menerima gambaran dari luar secara jelas. Untuk bisa ma’rifat kepada Allah kebersihan hati merupakan suatu kewajiban. Untuk itu al-Ghazali membahas dengan jelas tentang hati dan fungsinya, disamping pengertian ruh, nafs, dan akal.
Anggota-anggota badan adalah pengikut, pelayan dan alat yang dipekerjakan oleh qalbu dan dipakainya sebagaimana pemilik memakai hamba sahayanya dan sebagaimana para pemimpin mempekerjakan rakyatnya dan pembuat mempekerjakan alatnya. Qalbulah yang diterima di sisi Allah apabila dia selamat dari selain Allah dan terdinding dari Allah bila ia tenggelam dengan selain Allah. Dialah yang berbahagia bila mensucikannya dan yang sengsara bila mengotorinya.[10] Selain membicarakan tentang qalbu, al-Ghazali juga mengemukakan pengertian tentang an-nafs, ar-rūh, dan al-‘aql.
1. Qalb, nafs, rūh, dan ‘aql
Qalbu mempunyai dua pengertian, pertama qalbu adalah daging yang terletak pada sebelah kiri dada. Yaitu daging khusus yang di dalamnya ada lobang dan di dalam lobang itu ada darah yang hitam yang menjadi sumber ruh dan tambangnya. Qalbu yang seperti ini ada pada binatang dan juga pada orang yang mati.[11] Pengertian kedua adalah sesuatu yang halus, ketuhanan, kerohanian. Qalbu inilah hakikat manusia, yang diajak bicara, yang disiksa, yang dicela dan dituntut. Qalbu yang halus ini mempunyai kaitan dengan qalbu yang jasmani. Kaitannya adalah bahwa dia mempunyai hubungan perangai yang terpuji dengan tubuh, dan sifat-sifat dengan yang disifati atau kaitannya orang yang memakai alat dengan alatnya atau kaitan orang yang bertempat dengan tempatnya.[12]
Tentang ruh (nyawa) ada dua pengertian. Pengertian pertama adalah berupa tubuh halus yang sumbernya adalah lobang hati yang jasmani, lalu tersebar dengan perantara urat-urat yang merasuk ke bagian-bagian badan lainnya. Perjalanan ruh pada badan, banjirnya cahaya-cahaya kehidupan, perasaan, penglihatan, pendengaran dan penciuman dari padanya atas semua anggota itu menyerupai banjirnya cahaya dari lampu yang diputar di sudut-sudut rumah. Sesungguhnya cahaya itu tidak sampai ke suatu bagian rumah melainkan ia bersinar dengan cahaya itu.[13] Adapun pengertian yang kedua adalah sesuatuyang halus dari manusia yang mengerti lagi yang mengetahui dari manusia, dan inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah, al-Isrā: 85. “Katakanlah bahwa ruh itu adalah urusan Tuhanku.” Dia adalah urusan Tuhan dan akal tidak dapat memahaminya.[14]

Tentang nafs juga terdapat dua pengertian. Pengertian pertama adalah yang menghimpun kekuatan marah dan nafsu syahwat pada manusia. Pengertian ini yang umumnya dipakai oleh ahli tasawuf. Karena mereka itu menginginkan pengertiannya yang asli yang merupakan kumpulan sifat-sifat manusia yang tercela. Lalu mereka mengatakan bahwa tidak boleh tidak melawan nafsu dan memecahkannya. Untuk itu Rasulullah Saw mengisyaratkan dengan bersabda: Paling berat musuhmu adalah nafsumu yang berada di antara dua lambungmu.[15]
Adapun pengertian kedua dari an-nafs adalah sesuatu yang halus yang pada hakekatnya adalah manusia, yaitu nafs manusia dan zatnya. Akan tetapi dia disifatkan dengan sifat yang berbeda-beda karena keadaannya yang berbeda-beda. Apabila nafs itu tenang di bawah perintah dan kegoncangan berpisah daripadanya karena menentang nafsu syahwat maka dia disebut dengan an-nafs al-muma’innah, seperti firman Allah Swt pada surah al-Fajr: 27:28. Arti pertama dari an-nafs tidak dapat digambarkan kembalinya kepada Allah Swt dan dia menjauh dari Allah Swt dan dia termasuk tentara setan. Dan apabila tidak sempurna ketenangannya tetapi dia menjadi pendorong bagi nafsu syahwat dan penentang atasnya, maka disebut an-nafs al-lawwāmah karena ia mencaci pemiliknya dan ia teledor dalam beribadah kepada Tuhannya. Dalam surah al-Qiyāmah: 2 Allah Swt berfirman yang artinya: dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). Kalau nafs itu meninggalkan tantangan, tunduk dan taat kepada tuntutan nafsu syahwat dan dorongan-dorongan setan, maka dia dinamakan an-nafs al-ammārah (surah Yusuf: 53)[16]
Al-‘aql juga punya dua arti. Arti yang pertama adalah bahwa akal itu kadang-kadang secara umum dimaksudkan ilmu tentang hakekat perkara. Maka akal adalah ibarat dari sifat ilmu yang tempatnya adalah hati.[17] Pengertian yang kedua dimaksudkan bahwa akal kadang-kadang adalah yang mengetahui ilmu-ilmu, kadang bisa berarti al-qalb dalam pengertian sesuatu yang halus.[18]
Al-Qalb itu mempunyai dua tentara yaitu tentara yang dapat dilihat dengan penglihatan dan yang tidak dapat dilihat kecuali dengan penglihatan hati. Hati berkedudukan sebagai raja dan tentara berkedudukan sebagai pelayan. Maksud adanya tentara bagi hati adalah untuk melancarkan jalan hati itu mencapai ma’rifat. Sesungguhnya kendaraan hati adalah badan dan perbekalannya adalah ilmu dan amal shalih yang dilakukannya di dunia ini. Dunia adalah kebun akhirat. Karena itu tentara-tentara hati yang dapat dilihat bisa membantunya untuk beramal shalih.[19]
2. Hati dan Tentara Batin
Tentara batin yang berupa kemarahan dan nafsu syahwat kadang-kadang bisa tunduk kepada perintah hati dan kadang-kadang tidak. Kalau dia tunduk dia bisa membantu hati menuju jalan yang ditujunya. Namun bilamana tentara kemarahan dan tentara nafsu syahwat ini durhaka kepada hati, menyimpang dan melampaui batas maka keduanya bisa menguasai hati dan memperbudak hati. Akhirnya kepergian hati untuk merealisasikan tujuannya jadi tidak akan sampai.[20]
Namun hati masih mempunyai tentara lain, yaitu: ilmu, hikmah, dan berpikir. Dan hak hati adalah meminta pertolongan kepada tentara ini karena ia adalah tentara Allah Swt. Kadang-kadang tentara kemarahan dan tentara nafsu syahwat itu meminta bantuan kepada tentara setan sedangkan hati kalau tidak meminta bantuan kepada tentara Tuhan tadi maka hati akan binasa dan rugi. Demikian pada umumnya keadaan makhluk manusia. Akal mereka tunduk kepada nafsu syahwatnya. Seharusnya nafsu syahwat itu tunduk kepada akal mereka.[21]
3. Kekhususan Qalbu
Pada manusia terdapat empat macam sifat, sabu’iyah (kebuasan), bahimiyah (kebinatangan), syaianiyah (kesetanan), dan rabbaniyah (ketuhanan). Semua sifat itu terkumpul dalam hati. Apabila ia menanamkan sifat ketuhanan dalam dirinya, taat kepada Allah Swt dengan menentang sifat nafsu syahwat membuat hatinya jadi berkilau. Sedangkan perbuatan maksiat kepadaNya menjadikan hati kotor dan hitam. Maka terangnya hati bisa diusahakan dengan zikir, dan takwa adalah pintu zikir. Zikir pintu kasyaf dan kasyaf adalah kebahagiaan dengan bertemu Allah Swt.[22]
Orang yang beriman terbagi tiga tingkatan. Tingkatan pertama adalah imannya orang awam. Mereka beriman karena taklid. Yang kedua imannya mutakallimin yang derajatnya mendekati iman orang awam. Yang ketiga adalah imannya orang arifin. Iman yang ketiga ini lebih kuat karena mereka mendapatkannya langsung dari Tuhan.[23]
Kekhususan qalbu manusia dapat dilihat pada ilmu pengetahuan dan kehendak (iradah). Adapun ilmu maka adalah ilmu tentang urusan dunia dan akhirat dan hakekat-hakekat yang berhubungan dengan akal. Sesungguhnya semua ini adalah urusan-urusan di luar apa yang ditangkap oleh panca indera. Adapun iradah maka apabila dapat diketahui dengan akal, akan akibat suatu perkara dan jalan kebaikan padanya, niscaya bangkit daripadanya keinginan kepada segi kemaslahatan dan kepada mencari sebab-sebabnya dan kehendak. Dan demikian itu bukan kehendak nafsu syahwat dan kehendak binatang. Jadi hati manusia itu khusus ditujukan kepada ilmu dan iradah yan mana semua hewan terlepas daripadanya. Kekhususan manusia adalah pada ilmu dan hikmah. Dan paling mulia di antara macam-macam ilmu ialah ilmu tentang Allah, sifat-sifatNya dan perbuatan-perbuatanNya. Pada ilmu itu kesempurnaan manusia dan pada kesempurnaan manusia itu kebahagiaannya dan kepatuhannya untuk berdekatan di sisi Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Sempurna. Kadang-kadang manusia itu berada pada tingkatan binatang dan kadang-kadang tingkatan malaikat. Sedangkan tingkatannya yang sebenarnya adalah berada pada tingkatan binatang dan malaikat.[24]
Qalbu siap menerima dua macam ilmu, ilmu akliah dan ilmu syar’iyah. Ilmu akliah terbagi dua, ilmu dharuri dan ilmu yang diusahakan. Ilmu yang diusahakan itu terdiri dari ilmu duniawi dan ilmu ukhrawi.[25] Ilmu yang bukan dharuri kadang-kadang diperoleh begitu saja dan kadang-kadang diperoleh dengan belajar. Pengetahuan yang diperoleh tanpa usaha disebut dengan ilham. Ilmu yang didapatkan karena ilham itu diperoleh oleh para wali dan orang suci karena kasih saying Tuhan. Adapun ilmu yang didapat karena wahyu diberikan kepada para Nabi. Ilmu yang didapat karena usahanya mencari ilmu dikhususkan untuk para ulama.[26]
Adapun orang-orang sufi tidak tertarik kepada ilmu ta’limiyah. Mereka lebih tertarik pada ilmu ilhamiyah. Para Nabi dan wali mengetahui masalah-masalah ghaib karena dada mereka dipenuhi oleh Nur Ilahi yang mereka dapatkan tanpa belajar, cukup dengan cara hidup zuhud.[27] Hati itu mempunyai dua pintu, pintu yang terbuka kepada alam malakut dan pintu satunya lagi terbuka kepada panca indera dan alam syahadah. Ilmu para Nabi dan wali datang dari pintu yang terbuka kealam malakut, sedangkan ilmu hikmah datang dari pintu panca indera. Hati harus dijaga dari perbuatan-perbuatan yang merusak dan harus selalu dibersihkan dengan melakukan perbuatan-perbuatan terpuji agar tercapai kepada derajat akhlak kenabian. Penguasaan setan atas hati mengakibatkan terhalangnya ilmu-ilmu yang diperoleh dengan ilham.
Al-Ghazali juga menguraikan tentang qalb dan nafs serta kebahagiaan dalam kita Kimiā as-Sa’ādah. Diri itu terbagi dua, yang pertama disebut qalb dan yang kedua nafs dan ruh. An-Nafs adalah qalbu yang dikenal dengan mata batin. Jadi qalbu bukanlah sepotong daging yang terletak di dada bagian kiri. Karena hal ini juga terdapat pada binatang dan orang yang sudah meninggal. Dan segala sesuatu yang dapat dilihat dengan mata lahir dinamakan dengan alam syahādah.[28]
Adapun qalbu yang sebenarnya bukan seperti dimaksudkan di atas akan tetapi yang terdapat di alam gaib. Seluruh anggota tubuh adalah askarnya sedangkan qalbu itu sendiri rajanya. Sifatnya adalah ma’rifatullah dan musyahadah akan keindahan hadhrat Ilahi.[29] Qalbu diibaratkan oleh al-Ghazali dengan cermin, dan demikian juga dengan lauh al-mahfu karena di sana terdapat semua gambaran yang wujud. Apabila dua cermin itu saling dihadapkan maka akan terlihat gambar yang ada di cermin yang satu pada cermin lainnya. Demikian juga akan nampak apa yang ada di lauh al-mahfu itu oleh qalbu bilamana qalbu tersebut bebas dari kotoran dunia. Tetapi bilamana qalbu itu kotor maka apa yang ada di alam malakut itu menjadi tertutup baginya.[30] Qalbu tidak akan dapat membaca apa yang ada di alam malakut selama ia tidak memisahkan kesibukannya dengan urusan dunia. Ilham tidak masuk melalui indra manusia tetapi langsung ke qalbu yang bersih tanpa diketahui dari mana datangnya. Qalbu termasuk alam malakut tetapi akan tertutup untuk mengetahui yang gaib bilama dia diarahkan ke urusan dunia.[31]
Sehubungan dengan ajaran tasawufnya, al-Ghazali juga membedakan antara wali dan Nabi. Konsep insan kamil (manusia yang sempurna) diungkap al-Ghazali dalam kitab al-Munqiż min ad-alāl.[32] Karamat auliya merupakan bidayat auliya. Orang awam tidak dapat memahami ini karena mereka tidak mengalaminya sendiri dan orang yang mengalaminya, yaitu para sufi, pengalaman ini tidak bisa dijelaskan dengan perkataan. Orang sufi merasakan ini melalui żauq. Orang yang menempuh jalan sufi akan mengetahui hakekat kenabian. Kalau akal merupakan satu tingkat dimana manusia dapat melihat alam gaib serta rahasia lainnya yang tak dapat diketahui oleh akal. Sifat khas kenabian hanya dapat diketahui melalui żauq dengan menempuh jalan sufi.
Jadi gambaran manusia yang dikehendaki oleh al-Ghazali manusia yang bersih qalbunya dengan cara mengamalkan ajaran tasawuf sehingga akhirnya seseorang sampai ke tujuan ma’rifat kepada Allah Swt. Al-Ghazali membagi manusia kepada empat golongan, yaitu para anbiya, para wali, ulama, dan orang awam. Para anbiya adalah orang yang mendapatkan wahyu dan ilmu dari Tuhan, para wali orang yang mengamalkan ajaran tasawuf sehingga bersih hatinya dan akhirnya mendapatkan ilmu gaib yang terdapat di lauh al-mahfu melalui ilham. Sedangkan para ulama adalah mereka yang mendapatkan ilmunya melalui belajar yang dinamakan dengan ilmu ta’limiyah atau ilmu mu’amalah. Yang inti dari manusia adalah qalbunya. Dan qalbu yang disucikan melalui jalan tasawuf bisa mengangkat derajatnya yang lebih tinggi dari malaikat.






BAB III
KESIMPULAN / PENUTUP
Nama lengkap Al Ghazali adalah Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Ahmad Al Ghazali, lebih dikenal dengan Al Ghazali. Lahir di Provinsi Khurasan, Republik Islam Irak, tahun 450 H (1058 M). Ayahnya adalah memintal benang wol.
Awal mula Al Ghazali mengenal tashawuf adalah ketika sebelum ayahnya meninggal, namun dalam hal ini ada dua versi: ayahnya sempat menitipkan Al Ghazali kepada saudaranya, Ahmad seorang sufi. Sejak kecil, Al Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu. Al Juwaini kemudian memberinya gelar Bahrûm Mughrîq (laut yang menenggelamkan). Dan empat tahun Al Ghazali bergelimang ilmu pengetahuan dan kemewahan duniawi. Di masa inilah dia banyak menulis buku-buku ilmiah dan filsafat. Bermacam-macam pertanyaan timbul dari hati sanubarinya. Dia menyingkir dari kursi kebesaran ilmiahnya di Baghdad menuju Mekkah, kemudian ke Damaskus dan tinggal disana sambil mengisolir diri untuk beribadah dan mengambil jalan sufi. Ia wafat pada tanggal 14 Jumâdil Akhir tahun 505 H (1111 M) dalam usia 55 tahun.

 al Ghazali mengemukakan akan pemikiran nya tentang etika dalam pandangan sufistik bahwa penilaian baik dan buruk tidak hanya bisa berhenti dalam dhohir saja ,akan tetapi bergerak sampai tataran praktis dan batin, adapun pembagian dalam pemikran sufistik al Ghazali adalah sebagai berikut :
1.      Kebahagiaan
·         Positive
·         Negative
2.      Baik dan Buruk
3.      Kewajiban agama seperti : salat , haji ,zakat,puasa

Menurut al Ghazali manusia itu memiliki sifat-sifat binatang ,sifat-sifat setan ,sifat-sifat malaikat, dan memandang bahwa manusia itu adalah Qolbu karena Qolbu inilah yang menyampaikan manusia pada ma’rifat  sedangkan anggota badan adalah pengikut,pelayan dan alat yang dipekerjakan oleh Qolbu.

Demikianlah paparan kami tentang “etika sufistik al Ghazali” guna menambah wawasan akan khazanah ke ilmuan dan memenuhi tugas mata kuliah kami, kami tetap berharap akan adanya kritik dan saran guna melengkapi kekurangan dari makalah kami karena kami tetaplah hanya manusia biasa yang jauh dari kesempurnaan.

Kami mohon maaf apabila dalam makalah ini masih ada kesalahan baik dalam penyampaian ataupun selainnya, demikian dari kami dan terima kasih.






Fote note :
.[1]  al-Ghazali, Berbisnis Dengan Allah (Surabaya: Pustaka Progresif. 2002), h. 8
 [2]  al-Ghazali, Kimia Kebahagiaan (tt:pdf. 2007), h. 26
[3]  Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak (Jakarta: Amzah. 2011), h. 325
 [4] Al-Ghazali, Kimia Kebahagiaan (Bandung: Mizan,tt), hlm. 2
[5] Ibid., hlm. 3. [6] Ibid., hlm. 5. [7] Ibid.  [8] Ibid., hlm. 7. [9] Ibid., hlm. 9.
 [10]Ihya, jld. 2, hlm. 204 [11]Ibid., hlm. 206. [12] Ibid. [13]Ibid. [14]Ibid. [15] Ibid. [16] Ibid. [17] Ibid. [18] Ibid. [19] Ibid., hlm. 207. [20] Ibid., hlm. 209. [21] Ibid. [22] Ibid., hlm. 213-214. [23] Ihya, jld. II, hlm. 218. [24] Ibid., hlm. 210-212. [25] Ibid., hlm. 219. [26] Ibid., hlm. 221. [27] Ibid.
[28] Al-Ghazali (Majmu’ah ar-Rasā’il), Kimiā as-Sa’ādah, (Beirut: Daar al-Fikri, 1996), hlm. 420. [29] Ibid., hlm. 421. [30] Ibid., hlm. 425. [31] Ibid.
[32] Al-Ghazali, al-Munqiż min ad-alāl, hlm. 86.